Adsense

Senin, 05 Mei 2014

Doa

Tahukah Anda kalau dekat-tidaknya hubungan kita dengan Tuhan dapat diketahui dari cara Anda berdoa? Ya, benar. Bagaimana caranya? Begini :

Orang yang dekat dengan Tuhan tidak pernah berdoa panjang. Pendek, simpel, dan sangat singkat.
Sebaliknya orang yang tidak dekat dengan Tuhan, punya doa yang sangat panjang dan sangat pandai merangkai kata-kata yang bertele-tele, berbunga-bunga, dan penuh kata-kata fantastis yang kalo didengar-dengar banyak menggunakan gaya bahasa Vickinisasi.

Orang yang dekat dengan Tuhan berdoa dengan kerendahan hati, seringkali dengan suara yang sangat lirih, bahkan tanpa suara sama sekali.
Orang yang tidak dekat dengan Tuhan, akan berdoa dengan suara lantang dan keras. Bahkan seringkali menjerit-jerit, menangis keras, dan histeris. (Apalagi kalo doa di dalam acara di televisi, doanya jerit-jeritan sampai berderai air mata....)

Orang yang dekat dengan Tuhan hampir selalu berdoa dengan menundukkan kepala. Orang yang tidak dekat dengan Tuhan akan mendongakkan kepala, bahkan terkadang merentangkan tangannya lebar-lebar.

Lho... bagaimana saya bisa menilai dekat-tidaknya hubungan seseorang dengan Tuhan dengan cara demikian?

Orang yang dekat dengan Tuhan sudah pasti tahu siapa Tuhannya. Tuhannya adalah adalah Tuhan yang MAHA TAHU, MAHA MENDENGAR, MAHA MENGERTI, & MAHA BERKUASA.

Doa adalah cara komunikasi kita dengan Tuhan.

Dan Tuhan adalah Bapa, Ayah, serta Tuan kita.

Jadi....

Renungkanlah ...

Apa perlu berdoa panjang lebar pada Tuhan, padahal Dia sendiri SUDAH TAHU masalah kita?
Apa perlu berdoa menjerit-jerit, padahal Dia sendiri BISA MENDENGAR keluhan kita, meski disuarakan dengan suara lirih, atau tanpa suara sedikitpun?
Dan apa pantas berdoa dengan mendongakkan kepala dan meregangkan tangan selebar-lebarnya, padahal saat berdoa sebenarnya kita sedang berbicara dengan Ayah dan Tuan kita?

Hanya orang yang mengenal Tuhanlah yang tahu bagaimana cara berhadapan dengan Tuhan.

Hanya orang yang dekat dengan Tuhanlah yang mengerti cara berkomunikasi dengan Tuhan.

Dan....

Jika Anda masih berpikir dekat dengan Tuhan, tetapi berdoa dengan....
.... Suara yang keras dan lantang....
.... Isi doa yang bertele-tele ...
.... Menjerit-jerit dan histeris ....
.... Dan berdoa hanya berfokus pada kepentingan sendiri ...
Coba tanya pada diri sendiri ....
Apakah hubungan kita dekat dengan Tuhan kita sendiri?
Apakah kita mengenal Tuhan kita?
Atau justru berharap Tuhanlah yang (harusnya) kenal kita?



Jumat, 25 April 2014

Pujian

Tidak ada orang di dunia ini yang tidak suka dipuji. Karena "Pujian" adalah sebuah bentuk penghargaan atas usaha yang telah kita lakukan. Meski terkesan sepele, tetapi sebuah pujian adalah ibarat setetes air di padang gurun yang melegakan dahaga.

Bagi saya, memberikan pujian pada staf - ataupun pada siapapun - adalah bentuk apresiasi yang bisa memacu orang yang dipuji menjadi lebih bersemangat. Dengan pujian, mereka merasa usaha yang telah dilakukan punya makna, dan dirinya berarti sekali. Setiap kali diberi pujian, semangat mereka akan bertumbuh dan mereka akan berusaha lebih baik lagi.

Jadi cukup wajar jika saya sering memberikan pujian kepada staf saya. Sekecil apapun hasil usaha mereka, semuanya layak mendapatkan pujian. Saya pernah memuji staf saya hanya lantaran dia menulis e-mail untuk Customer dengan menggunakan pilihan kata yang sederhana tapi mendalam. Saya pun pernah memuji staf saya hanya lantaran dia berhasil menyelesaikan laporan dengan cepat sebelum "deadline" yang saya tentukan.

Singkatnya, sekecil apapun usaha yang dilakukan oleh para staf, saya selalu memberikan pujian. Entah pujian itu dengan kata-kata seperti "kamu luar biasa", "kamu hebat", "eksekusi yang kamu lakukan keren banget", atau hanya sekedar menjabat tangannya, menepuk pundaknya, dan mengacungkan dua jempol kepadanya.

Jika terlalu sering memuji, apa tidak akan membuat staf kita menjadi sosok yang munafik, besar kepala, sombong, atau haus pujian yang membuat kinerja dia buruk, lantaran mengejar pujian?

Keliru.

Saya sudah buktikan sendiri, bahwa staf yang sering mendapatkan pujian akan menjadi staf yang sangat handal. Mengapa? Karena dia menyadari keberadaan dirinya diakui di perusahaan. Usaha, pemikiran, serta dedikasinya mendapat apresiasi, terutama atasannya. Dengan pujian, dia akan tahu kalau dia telah melakukan sesuatu yang benar, dan dapat dipastikan dia akan ingat untuk terus-menerus melakukan hal itu lagi dengan cara yang baik dan benar, bahkan lebih ditingkatkan lagi. Pada akhirnya, saya akan memiliki seorang staf yang loyal, penuh dedikasi, dan pastinya : seorang staf super yang punya kemampuan melebihi orang lain.


Tidak hanya itu. Dengan memberikan pujian dan penghargaan terhadap usaha staf, saya sedang membentuk karakternya. Hukum Kebaikan (jika kita baik pada orang, orang pun akan baik pada kita) akan berjalan. Jadi ketika saya menabur penghargaan, saya pun akan menuai penghargaan pun dari Staf saya. Mereka bisa lebih respek pada saya, diri sendiri, teman sekerja, bahkan staf mereka sendiri. Karakternya terasah menjadi orang yang menghargai orang lain, tidak egois, dan punya kepekaan pada orang lain.

Dan tentu saja, memuji orang ada tekniknya, tergantung bagaimana hubungan Anda dengan staf.

Jadi, jika saat ini Anda adalah seorang Manager dan punya banyak staf, tidak ada salahnya luangkan waktu untuk memperhatikan usaha masing-masing staf Anda, dan cari hal-hal baik yang dia lakukan hari ini. Tidak perlu sebuah prestasi besar. Hal kecil sekali pun yang dia lakukan, sudah dapat menjadi alasan bagi Anda untuk memujinya. Jadikan kebiasaan "memuji" menjadi gaya Anda dalam berorganisasi. Dan lihatlah : Anda akan memiliki banyak staf handal yang tidak saja hormat dan taat pada Anda, namun juga punya kepribadian yang sangat baik dan akan bekerja penuh dedikasi, mau mengasah dirinya sendiri menjadi staf yang lebih baik, dan dapat berprestasi lebih baik.


Apa Kelemahan Saya, Pak?

Satu pertanyaan yang paling tidak suka saya jawab adalah jika Staf saya meminta untuk dievaluasi kinerja mereka dengan mengajukan pertanyaan : "Apa kelemahan dan kekurangan saya, Pak? Apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki kekurangan ini?"

Saya rasa di perusahaan mana pun hal ini akan terjadi. Ketika seseorang ingin Atasan mengevaluasi kinerjanya, dia selalu menanyakan kepada Sang Atasan apa kekurangan dan kelemahannya, dan bagaimana bisa memperbaiki kekurangan tersebut agar bisa bekerja lebih baik.

Pertanyaan saya : Bagaimana Anda menilai diri anda sendiri? Apakah Anda menilai diri Anda penuh kekurangan dan kelemahan? Atau sosok ciptaan Tuhan yang punya kelebihan yang luar biasa?

Saya belajar bahwa setiap manusia memiliki kelebihan masing-masing. Mereka diciptakan oleh Tuhan dengan wujud, kemampuan, pengetahuan, dan segalanya dengan sangat khas, spesifik, dan unik. Tidak ada orang yang punya kesamaan. Identik, ya. Tetapi tidak pernah ada yang sama.

Karena setiap manusia punya kelebihan yang unik itulah, maka saya merasa tidak punya hak sedikitpun untuk mengkritisi atau pun menilai kelemahan dan kekurangan seseorang.

Atas dasar apa saya menilai kelemahan dan kekurangan mereka? Tentu atas dasar penilaian saya yang sangat subjektif, kan? Karena itulah saya pasti akan menilai dan mengevaluasi mereka dari sudut pandang saya, di mana - sadar atau pun tidak - saya akan "menuntut" orang tersebut menjadi pribadi seperti saya, bukan dirinya yang sebenarnya.

Misalkan saja, saya menilai Staf saya tidak teliti, cengeng, kurang mampu berpikir taktis. Maka secara tidak langsung, saya berharap staf saya bisa berubah menjadi lebih teliti, lebih tegar, dan lebih mampu berpikir taktis layaknya seorang jenderal perang yang mengatur pasukannya. Jika demikian, tanpa sadar, saya sudah meminta dia menjadi diri saya, karena semua hal itu adalah kelebihan yang saya miliki. Nah, kalau dia tidak sanggup seperti saya, lantas apa saya kemudian bilang dia tidak kompeten?

Memandang seseorang tidak kompeten dalam pekerjaannya hanya lantaran orang itu tidak memiliki kemampuan seperti kita adalah cara menilai yang sangat keliru dan tidak objektif. Mengapa kita tidak pernah menilai seseorang dari kelebihan-kelebihannya? Mengapa kita selalu berorientasi pada kelebihan kita dan membuat standar penilaian kompetensi berdasarkan kelebihan kita tersebut? Siapakah kita sehingga kita bisa-bisanya menilai kompetensi seseorang berdasarkan standar kita? Memangnya kita adalah sosok sempurna sehingga kita anggap layak menjadi standar untuk menilai orang lain?
 
Setiap hari di kantor, saya selalu meluangkan waktu minimal 5 menit untuk ngobrol santai atau bincang-bincang santai dengan para staf saya secara pribadi. Dengan cara ini, saya bisa belajar dan menganalisa kelemahan dan kelebihan mereka.

Setelah tahu tentang mereka, saya akan berfokus menggali kelebihan-kelebihan yang mereka miliki tersebut. Saya akan dorong dan setiap saat memberikan kesempatan untuk mereka mengembangkan terus kelebihannya itu, sehingga pada akhirnya tanpa sadar mereka telah menjadi pakar di bidang yang menjadi kelebihan mereka tersebut.

Saya punya beberapa staf yang punya kelebihan masing-masing. Ada yang super ekstrim teliti (titik-koma satu pun tidak terlewatkan olehnya...). Ada yang sangat cerdas dalam bernegosiasi (kalau nawar, pasti bisa dapat yang sangat kompetitif dan sangat mustahil didapat orang lain. Beneran.... Sumpah....!!). Ada yang sangat pandai persuasi dan membujuk orang. Dan ada yang kerjanya sangat cepat sekali dan super multi-tasking (mampu melakukan beberapa pekerjaan sekaligus di waktu bersamaan). Semuanya punya kelebihan yang berbeda-beda dan unik, yang tidak mungkin bisa saya sama-ratakan maupun saya banding-bandingkan.

Memang setiap orang - termasuk saya - punya kelemahan dan kekurangan. Tetapi itu tidak perlu saya ungkapkan. Karena itu tidak penting. Jauh lebih penting jika saya berhasil mengembangkan potensi dan kelebihan yang setiap staf saya miliki. Itu akan membuat mereka lebih berharga, lebih bernilai, dan lebih mensyukuri diri mereka masing-masing.

Bayangkanlah, jika saya menilai mereka berdasarkan kelemahan-kelemahan mereka. Jika mereka adalah orang-orang tekun yang berpikiran sangat ingin maju, mereka akan menuruti penilaian saya tersebut, dan akan mati-matian untuk berubah. Bukan berubah sesuai apa adanya kemampuan mereka, tetapi akan berusaha berubah seperti apa maunya dan kemampuan saya.

Akibatnya?

Orang tersebut akan lelah dan frustrasi karena tidak akan pernah bisa menjadi seperti apa maunya saya. Mereka tidak akan pernah bertumbuh karena selalu menjadi seperti saya, padahal mereka sendiri punya kapabilitas yang jauh lebih baik daripada saya. Cukup disayangkan, karena orang itu tidak akan bertumbuh dan lama-lama akan stagnan. Tidak akan pernah tumbuh. Hanya tinggal menunggu waktu saja baginya untuk resign, karena tidak mampu "perform" dan berprestasi.

Lain soal jika saya memusatkan pada kelebihan yang mereka miliki. Toh kelebihan itu sudah ada pada diri mereka. Anda tahu apa yang akan terjadi? Sangat dasyat !! Dia akan menjadi "manusia super" yang hebat, kuat, dan tangguh.

Karena itu, jika Anda pernah jadi staf saya dan pernah bertanya, "Apa kelemahan saya, Pak?", maka maafkan saya jika tidak pernah saya tanggapi. Saya tidak pernah melihat kelemahan dan kekurangan ada pada dirimu. Saya hanya melihat KELEBIHAN & KEKUATAN-mu ....




Selasa, 08 April 2014

Karisma

Banyak orang ingin menjadi sosok berkharisma, namun mereka sendiri bingung mendeskripsikan, apa itu "Kharisma"? Seperti apa "sosok berkharisma" itu sebenarnya?

Dalam konteks di Indonesia, Kharisma sering diterjemahkan sebagai penampilan fisik di mana seseorang harus tampak gagah, bermata tajam, berwajah keras, dan bertubuh atletis. Kharisma seseorang pun - katanya - bisa dilihat dari suaranya yang lantang, tegas, dan menggetarkan jiwa. Atau bisa juga suaranya pelan tetapi mampu membuat orang terkesan dan takjub.

Bahkan ada yang lebih ekstrim menerjemahkan "Kharisma" sebagai bentuk arogansi. Orang yang "pandai" membentak, marah-marah, sombong, dan "tegas" (dalam artian keras kepala) adalah orang yang berkharisma.

Apakah demikian?

Karena di kantor saya, ada banyak orang yang secara fisik seperti itu, tetapi mereka tidak terlihat "berkharisma". Bahkan ada orang yang senangnya marah-marah serta suka terlalu ngotot tanpa dasar mempertahankan pendapatnya. Bukannya dia tampak berkarisma, tapi malah ujung-ujungnya "pikasebeuleun" (menyebalkan).

Sebaliknya, Direktur saya yang berpenampilan sangat sederhana (bahkan paling sederhana dibandingkan para staf yang lain), tubuhnya tidak atletis, ngomongnya pelan, dan tidak pernah marah, justru tampak sangat berkharisma dan memunculkan rasa hormat yang sangat mendalam pada semua stafnya (termasuk saya). Mengapa bisa demikian?

Karena dia perduli.

Selama ini, saya banyak belajar dari orang-orang besar (termasuk para atasan saya), bagaimana bisa menjadi orang berkharisma. Ternyata tips menjadi orang berkharisma dari mereka semuanya sama, yaitu Perduli.

John C. Maxwell - seorang motivator dan penulis mengatakan bahwa :


"Orang Besar" yang dimaksudnya adalah orang berkharisma. Ya, kharisma seseorang muncul ketika kita perduli pada orang lain, dan membuat orang lain menjadi sama berkharismanya dengan kita.

Saya belajar bahwa ketika saya perduli pada orang lain, memahami kebutuhannya, kemudian berperan aktif mendukung kebutuhan, orang akan menghargai usaha kita tersebut. Dari sebuah penghargaan, kemudian muncul respek, yang jika kita pupuk terus-menerus lama-lama akan membuat kita menjadi orang yang berkarisma.

Hampir selalu saya bertemu dan berhubungan dengan orang-orang sulit, keras kepala, menyebalkan, egois, dan "pikaseubeuleun". Dan saat berurusan dengan mereka, saya selalu mempelajari mengapa mereka bersikap demikian. Saya gali masalah-masalah yang sedang mereka hadapi, kemudian saat bertemu mereka, kalimat yang pertama kali muncul dari mulut saya adalah, "Saya tahu Anda ada masalah. Apa ada yang bisa saya bantu?" Meski pun pada saat itu saya sedang punya urusan penting dengannya, tapi saya kesampingkan dulu urusan saya, dan berfokus pada masalah orang tersebut.

Anda tentu mencibir dan mengatakan, "Masalah orang lain ya biarlah orang lain yang menyelesaikannya. Mengapa harus ikut pusing? Kita saja sudah terlalu banyak masalah, buat apa nambah-nambah harus mikirin urusan orang lain? Kepo banget deh....."

Yep... Anda benar sekali. Tapi coba posisikan diri Anda sebagai orang tersebut. Ketika sedang punya masalah berat, lalu ada orang yang datang mengulurkan bantuan, bagaimana perasaan Anda? Kemungkinan besar : Senang. Mengapa karena Anda merasa tidak sendiri. Ada orang lain yang bersiap membantu Anda, menjadi martir buat Anda, dan menjadi SAHABAT buat Anda. Inilah yang lambat-laun akan memupuk rasa respek dan hormat orang lain pada Anda, yang pada akhirnya akan tumbuh menjadi kharisma Anda.

Berfokus pada kepentingan dan perduli pada orang lain adalah kunci untuk mendapatkan karisma yang kita inginkan. Namun untuk mendapatkan karisma tersebut, tidak bisa Anda dapatkan dalam hitungan jam maupun hari, tetapi bisa bulanan bahkan tahunan. Ibarat batu karang yang diterjang ombak, dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi ombak untuk menghancurkan batu karang itu sedikit demi sedikit. Begitu juga usaha kita dalam "menghancurkan" keegoisan, kesombongan, dan arogansi orang-orang demi mendapatkan karisma dan rasa hormat dari mereka.

Jadi... jika Anda ingin menjadi orang berkarisma, milikilah keperdulian pada orang lain. Fokuslah pada kebutuhan orang lain. Semakin kita perduli pada orang lain, karisma itu akan semakin muncul dalam diri kita. Kita tidak perlu memiliki suara yang menggelegar, bentuk tubuh atletis, atau "kemampuan" membentak. Cukup perduli pada sesama dan sekitar yang dilakukan secara terus-menerus, itu sudah membuat kita berkarisma. Buktikan saja.....

Senin, 07 April 2014

Simple Plan ....

Saya adalah tipe orang yang sederhana, dan berpikir dengan cara yang sederhana. Ini bisa dilihat dari cara kerja saya sehari-hari, termasuk dalam melakukan perencanaan kerja.

Berbeda dengan kebanyakan orang yang - saat mempresentasikan rencana kerjanya pada Management - selalu memaparkan presentasi yang terbilang sangat "wah" dengan visual yang memanjakan mata, serta efek khusus yang mengagumkan, presentasi saya selalu tampil sangat sederhana. Dibuat dengan menggunakan bantuan "wizard" (maklumlah... saya kurang ahli dalam hal mendesain....), serta tampil dengan sangat simpel. Tidak ada efek khusus. Hanya paparan sederhana tentang rencana yang akan saya lakukan di tahun berjalan ini.

Saat saya pertama kali mempresentasikan rencana kerja sederhana tersebut, banyak orang yang diam-diam menahan tawa melihat isi bahan presentasi saya. Saya menyadari hal itu, tetapi tidak mengomentari. Dengan acuh, saya menyelesaikan paparan presentasi saya kepada Management, lalu kemudian duduk dan membiarkan rekan saya yang lain melanjutkan presentasinya yang "wah".

Setahun kemudian, di saat presentasi rencana kerja, lagi-lagi saya tampil dengan tampilkan presentasi yang "sederhana". Lagi-lagi orang-orang mulai berkasak-kusuk dan menahan tawa. Namun, saat presentasi mulai saya "mainkan", cibiran itu sontak terhenti. Semua orang terdiam. Paparan saya yang sederhana itu mengejutkan mereka. Mengapa?

Karena saat saya berpresentasi, saya memaparkan rencana saya tahun lalu, lalu pencapaian yang telah saya lakukan selama setahun itu. Mana yang sudah tercapai, mana yang belum. Jika belum, apa alasannya. Jika sudah, bagaimana hasilnya. Saya paparkan semuanya, lengkap dengan data dan grafik. Baru setelah itu, saya jabarkan rencana saya di tahun ini dan bagaimana mengejar ketinggalan yang belum saya lakukan di tahun lalu.

Sementara rekan-rekan yang lain, masih terus melakukan kebiasaan mereka : memaparkan rencana kerja tahun ini, tanpa memaparkan sedikit pun kepada Management pencapaian apa saja yang sudah mereka lakukan di tahun lalu.

Bagi saya, Rencana Kerja adalah janji serta komitmen pribadi kita kepada Management dan Perusahaan. Rencana Kerja merupakan juga sebuah evaluasi atas kinerja kita, di mana kita bercermin atas usaha yang sudah kita lakukan dan sudah seberapa efektifkah kita bekerja, lalu apa tindakan kita untuk membuat pekerjaan kita lebih efektif.

Rencana Kerja yang dipresentasikan ke Management bukanlah satu bentuk "show off" untuk menunjukkan kepada Management betapa ahlinya kita menguasai program presentasi tertentu. Yang penting isinya dan langkah kongkret kita dalam melakukan rencana itu. Apakah bisa sebagus tampilan presentasi yang kita buat?

Seorang sobat pernah menasihati saya, "Tidak ada gunanya membuat presentasi yang indah, jika hanya indah dilihat saja. Yang penting presentasi itu bisa dikerjakan atau tidak. Yang buat komit melakukannya atau tidak. Itu yang penting."

Karena itu, dalam melakukan perencanaan kerja, saya selalu mengevaluasi kemampuan diri, lalu tim saya, kemudian kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dari sanalah kemudian muncul Rencana Kerja yang mana akan menjadi gol kerja saya dan tim sepanjang tahun ini. Rencana kami selalu sederhana. Bahkan mungkin anak SD pun bisa melakukannya. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk kami jalankan, daripada membuat rencana yang luar biasa "wah" namun pada kenyataannya tidak satu pun yang bisa dan pernah kami lakukan.

Kalau sudah begitu,maka pertanyaan yang akan muncul dari Management : Kalian ngapain aja sepanjang tahun lalu?



Sabtu, 05 April 2014

Be (NOT) Yourself ....

Salah satu jargon yang hingga hari ini masih belum bisa saya terima adalah "Be Yourself". Jargon ini mengajarkan kita semua untuk menjadi diri sendiri, jujur  pada diri sendiri, dan mengekspresikan diri kita apa adanya. Jangan mengikuti orang lain, karena belum tentu gaya dan cara orang bisa kita ikuti.

Teorinya benar. Tetapi dalam pelaksanaannya sangat tidak mungkin.

Misalkan saya saja. Jika Anda tanya, seperti apa kepribadian saya sebenarnya? Maka saya akan dengan gamblang mengatakan bahwa saya adalah orang yang sangat egois, sombong, keras kepala, selalu ingin menang sendiri, dan sangat perfeksionis. Bahkan dalam sebuah tes kepribadian, saya ternyata punya kecenderungan berkarakter Dominan yang sangat tinggi. Artinya, saya punya karakter seorang diktator berhaluan keras.

Apabila saya menerapkan jargon "Be Youself" ke dalam pekerjaan dan kehidupan sosial di masyarakat Indonesia yang notabene adalah adat budayanya sangat Asia (sopan dan ramah-tamah), maka dapat dipastikan saya akan tersingkir. Saya tidak akan pernah masuk dalam lingkungan komunitas manapun karena karakter saya yang sangat "kejam" dan "tidak manusiawi" (atau istilah istri saya : "Psycho").

Karena itulah, sejak 10 tahun lalu, saya mengubah diri saya. Tidak mudah, tetapi saya berkomitmen untuk berubah, dan kini saya berubah. Saya menjadi orang yang rendah hati, merangkul dengan baik setiap jenjang level kepemimpinan di perusahaan saya (meski baru sebatas Middle Management dan Operasional Level), mau mendengar, dan selalu berusaha untuk bekerja sama dengan orang lain. Saya tekan level Karakter Dominan di dalam saya ke titik yang terendah, agar saya bisa masuk ke pribadi hampir semua orang, termasuk yang keras dan sama dominannya seperti saya.

Ungkapan "Be Yourself" hanya bisa kita terapkan jika kita hidup di negara-negara Liberal yang menuntut seseorang hidup dalam kemandirian dan individualisme tinggi. Atau bisa juga diterapkan jika kita sudah hidup sendirian di muka bumi dan menjadi satu-satunya spesies "homo sapiens" yang tersisa. Dengan berpegang teguh pada ungkapan itu, kita akan belajar untuk tetap "survive" dan bertahan hidup dengan mengingat-ingat siapa dan apa jati diri kita. Dengan tetap menjadi diri sendiri, kita belajar untuk tetap menjaga kewarasan kita agar tetap sadar kalau kita "manusia seutuhnya". Ini saya pelajari saat menonton film CAST AWAY (2000) yang diperani Tom Hanks.



Dalam film tersebut, Tom Hanks yang dalam film itu berperan sebagai pekerja di sebuah perusahaan ekspedisi. Satu ketika pesawat yang ditumpanginya jatuh ke sebuah pulau terpencil yang tidak berpenghuni. Selama bertahun-tahun, Tom Hanks tinggal di pulau itu sendirian. Dia hanya "ditemani" sebuah bola bernama Wilson dan menjadi satu-satunya sahabat Tom Hanks menjalani kesendirian hidup di pulau itu. Dalam film itu, Tom Hanks menunjukkan apa itu "Be Yourself". Dia berusaha mati-matian untuk tetap bertahan waras di dalam kesendiriannya, dan berpegang teguh pada fakta kalau dia adalah manusia seutuhnya. Apabila dia tidak mempraktekkan "be yourself", dia akan kehilangan jati dirinya, mempertanyakan siapa dirinya, dan pada akhirnya dia menyadari kalau dirinya adalah sebuah bola.

Maka dari itu, saya tidak pernah percaya dengan jargon "Be Yourself", "Menjadi Diri Sendiri", ataupun "Menjadi Jati Diri Sesungguhnya", karena dalam kehidupan bermasyarakat (yang mana dalam hal ini kehidupan bermasyarakat di Indonesia ini), itu tidak mungkin terjadi !!! Sebab dalam berhubungan dengan orang lain, kita dituntut untuk memahami orang lain. Bagaimana mungkin kita memahami orang lain, jika kita menuntut orang lain lebih dulu paham tentang kita? Bagaimana mungkin pula kita menuntut orang lain menerima kita "apa adanya" jika kita saja tidak mampu menerima mereka "apa adanya" juga?

Anda mungkin akan berdebat dengan saya, "Berarti Bapak berharap kami menipu sendiri dan menjadi seseorang yang bukan kami yang sesungguhnya?"

Bukan menipu diri sendiri, tetapi belajar menjadi bagian dari komunitas manusia tanpa menghilangkan esensi kemanusiaan Anda sendiri.

Contoh sederhananya bisa Anda pelajari dari tubuh Anda sendiri. Masing-masing bagian tubuh punya fungsi dan bentuk masing-masing. Tapi amatilah kalau semuanya saling bekerja sama dan dengan "rendah hati" melayani bagian tubuh Anda yang lain. Lihatlah saat hidung Anda kotor, kelingking dengan "rela" mengotori dirinya sendiri dengan mengorek hidung. Anda sebenarnya punya otoritas penuh untuk mengatur dan menuntut kelingking tidak melakukan hal itu (toh kelingking dan hidung punya Anda sendiri juga). Tetapi jika dibiarkan jadi sangat mengganggu. Karena itu, Anda "instruksikan" kelingking melakukannya.

Apakah itu menipu diri sendiri? Tidak. Kelingking tetaplah secara fisik kelingking saat mengorek hidung. Fungsi sebenarnya pun tidak berubah, tetap sebagai penopang kekuatan untuk tangan. Tapi karena "kerendahan hati"-lah, maka dia mau dikendalikan oleh Anda untuk mengorek hidung yang kotor, yang sebenarnya bukan "job-desc"-nya.

Sama seperti hal ini : Kita tetaplah kita. Kita punya karakter, kepribadian, dan sifat masing-masing yang menunjukkan kalau "inilah jati diri saya sebenarnya". Namun, kita tidak bisa menerapkan jargon "be yourself" dalam komunitas dan kehidupan sosial kita, karena itu berarti kita menuntut orang memahami kita, menerima kita apa adanya, sedangkan kita sendiri belum tentu bisa menerima mereka apa adanya.

Selama Anda tinggal di negara yang masih berpegang teguh pada tradisi sopan santun dan ramah tamah, belajarlah rendah hati untuk bisa menjadi bagian dari komunitas dan masyarakat. Sebab tanpa kerendahan hati, walau secerdas dan sehebat apapun diri Anda, tidak akan pernah bisa diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Anda mungkin punya gaya sendiri dalam berbicara, dalam bersikap, atau berpakaian. Tetapi harus lihat, apakah gaya Anda bisa diterima? Jika tidak, berubahlah. Sebab jika tidak, maka Anda akan hidup sendiri di alam Anda sendiri, dan dunia akan melupakan kehadiran Anda.




Jumat, 04 April 2014

It's Not My Job...

Saya cukup prihatin saat membaca status seorang rekan di jejaring sosial yang isinya : "Kerja mah gimana gaji aja." Maksud dari status tersebut tidak lain menjelaskan kepada para followernya (mungkin diantaranya adalah HRD Manager dan Atasannya langsung) bahwa dia memilih untuk bekerja dengan standar sebesar gaji yang dia peroleh. Standarnya dari mana? Dari Job Desc. Jadi kalau ada instruksi kerja di luar Job Desc, .... well.... sori-sori aja... ga akan dia kerjakan. Kalau pun dikerjakan, tidak sepenuh hati.

Sebenarnya bukan hanya rekan saya ini saja. Dari cerita yang saya dengar, banyak orang yang seperti itu. Kebanyakan dari mereka adalah dari kalangan anak-anak muda, mulai dari yang "fresh graduade" hingga yang baru mengecap pengalaman kerja sekitar 5 - 6 tahun. Mereka beranggapan bahwa bekerja "sesuai Job Desc" adalah sebuah wujud profesionalisme. Mereka enggan melakukan hal lain di luar job desc, karena itu bukan bentuk profesionalisme dan tidak mendidik orang lain untuk bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri.

Pada konteks ini, saya setuju banget....!!!!

Tapi.... saya justru punya pemikiran lain soal melakukan pekerjaan di luar job desc. Mari saya jelaskan latar belakang karir saya.

Tahun 1997, saya bekerja di sebuah perusahaan garment di Bandung. Gaji saya saat itu adalah Rp 400.000 perbulan (saat itu, standar gaji lulusan S1 yang belum berpengalaman Rp 1.500.000). Waktu itu, jabatan saya adalah Follow Up Staff, di mana job-desc saya adalah menangani order mulai diterima hingga barang terkirim. Itu saja. Sangat sederhana.

Namun dasar saya orangnya suka proses, selama di perusahaan itu, saya belajar untuk tahu banyak hal. Meski bekerja di pabrik garment (yang notabene hanya khusus memproduksi pakaian), setiap kali ada kesempatan berkunjung ke pabrik supplier, saya luangkan waktu untuk belajar. Alhasil, saya jadi tahu banyak soal cara pembuatan tekstil, jenis bahan tekstil, proses pengerjaan sablon dan bordir, serta lain-lain. Tidak hanya itu, di dalam perusahaan pun saya belajar soal QC Inspection, pengerjaan pola, jenis-jenis mesin, teknik pengobrasan, dokumen impor dan ekspor, perpajakan, Undang-Undang Ketenagakerjaan, serta yang lain-lain. Hingga pada akhirnya (bukan sombong ni...), saya menyadari kalau saya adalah satu-satunya Staf Follow Up yang pada waktu itu mengetahui dan "sedikit" menguasai proses tekstil dan garment dari hulu hingga hilir.

Atasan saya sepertinya melihat potensi saya, lalu mulai memberikan banyak tugas yang sudah di luar Job Desc. Saya diserahi tugas menangani ISO (yang harusnya tanggung jawab Departemen Sistem), mengurusi jaringan komputer (yang harusnya tanggung jawab Departemen IT), mengurusi Costing (yang harusnya tanggung jawab Departemen Marketing), mengurusi Development Progress (yang harusnya tanggung jawab Departemen Research & Development), pengaturan dan perencanaan produksi (yang merupakan pekerjaan PPIC), serta Pembelian (yang harusnya tanggung jawab Departemen Purchasing).

Pada saat itu, saya bisa saja menolak tugas dan tanggung jawab itu. Tapi saya tidak pernah mengeluh dan tetap mengerjakan semuanya. Memang pada akhirnya sangat menyita waktu, hingga sering lembur setiap hari, tapi saya jalankan semuanya selama lebih dari 10 tahun karir saya di perusahaan tersebut.

Banyak orang mencibir "kebodohan" saya ini. Satu kalimat dari mereka yang paling saya ingat sampai hari ini, "Kamu tuh kayak Manager yang gajinya 5 juta ke atas saja, mau-maunya dibodoh-bodohin perusahaan buat ngerjain kerjaan yang bukan tanggung jawab kamu." Apa benar demikian?

Tahun 2001, saya mendapat kesempatan bersama para Manager melakukan studi banding selama 10 hari di China. Kami mengunjungi pabrik tekstil dan garment di Ning Bo, Hangzhou, Guangzhou, Shanghai, dan Hong Kong guna mempelajari teknologi mereka. Saya adalah satu-satunya karyawan dengan Level Staf yang diikutsertakan dalam kunjungan tersebut. Kalau sudah begini, apakah menurut Anda saya telah melakukan hal "bodoh"?

Tahun 2008, saya pindah dari perusahaan tersebut (setelah merasa cukup jenuh dan mencari hal baru), kemudian bekerja ke perusahaan eksportir buah dan sayur-mayur terbesar di Bandung. Di sana, jabatan saya adalah Purchasing Staf, dan Anda tentu tahu apa job-desc seorang purchasing. Namun pada pelaksanaannya, karena staf di sana sangat terbatas, saya dituntut untuk bisa multi-tasking. Tidak ada orang yang mensupervisi pekerjaan saya, sehingga saya belajar dan mencari tahu sendiri segala sesuatunya. Saya belajar mengenal jenis buah dan sayur mayur, mulai dari pemilihan bibit, proses penanaman, hingga panen. Saya belajar aturan Pemerintah soal ekspor buah dan sayuran. Bahkan saya terjun langsung ke bagian produksi, mencuci buah dan sayuran, pre-cooling, packaging, hingga stuffing ke container. Semuanya saya lakukan sendiri. Tujuannya agar mendapatkan "feeling" dari pekerjaan saya.

Dua bulan setelah itu, saya dipercaya mengurusi pameran-pameran yang disponsori Departemen Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Saya pun mendapat banyak kesempatan untuk mengikuti seminar, pelatihan, dan berbagai even yang diselenggarakan oleh ketiga departemen pemerintahan tersebut. Bahkan saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Bengkulu, Pontianak, dan seputaran Jawa Tengah, guna melihat dari dekat sentra-sentra pertanian yang ada di sana.

Puncaknya, tahun 2010, saya dipercaya untuk menjadi salah satu delegasi dan wakil Indonesia dalam mempromosikan produk buah dan sayuran Indonesia di Shang Hai Expo 2010 yang berlangsung dari Mei - Oktober 2010.


Dari cerita panjang-lebar ini, Anda bisa lihat bahwa sepanjang karir bekerja, saya memang adalah "orang bodoh" yang banyak melakukan pekerjaan yang bukan job-desc saya. Tapi lihatlah hasil dari "kebodohan" itu. Banyak peluang dan kesempatan yang justru saya peroleh dan dapatkan. Itu belum termasuk banyaknya tawaran-tawaran menggiurkan dari perusahaan-perusahaan pesaing yang berusaha membajak saya untuk bergabung dengan mereka.

Saya tidak munafik. Dalam bekerja, yang saya kejar memang uang. Tetapi ada satu hal lain yang saya kejar dalam bekerja : Kualitas Pribadi. Saya selalu berusaha untuk menjadi pribadi dengan kualitas diri yang lebih baik. Karena dengan kemampuan yang banyak, pengetahuan yang luas, dan karakter yang baik, saya tidak perlu kuatir untuk tidak mendapatkan pekerjaan atau kehilangan

Dalam situasi perekonomian yang semakin suliy, banyak perusahaan yang berusaha mengencangkan pinggang. Perasaan ketar-ketir pasti muncul kalau perusahaan sudah berniat melakukan pengurangan karyawan. Namun hal itu tidak akan terjadi, jika kita menjadi Karyawan yang bisa segalanya dan menjadi "key person" di perusahaan tersebut. Kita punya "selling point" yang sangat tinggi yang pasti dibutuhkan mereka, dan perusahaan-perusahaan pesaing.

Apakah Anda ingin jadi "The Expendable" (yang setiap saat bisa dieliminir) atau jadi "The Valuable" (yang akan dipertahankan karena punya banyak kemampuan)? Itu terserah Anda .....

Selama Anda memilih untuk bekerja sesuai Job-Desc atau sejumlah gaji yang diterima, Anda akan selamanya di posisi "The Expendable".