Adsense

Jumat, 04 April 2014

It's Not My Job...

Saya cukup prihatin saat membaca status seorang rekan di jejaring sosial yang isinya : "Kerja mah gimana gaji aja." Maksud dari status tersebut tidak lain menjelaskan kepada para followernya (mungkin diantaranya adalah HRD Manager dan Atasannya langsung) bahwa dia memilih untuk bekerja dengan standar sebesar gaji yang dia peroleh. Standarnya dari mana? Dari Job Desc. Jadi kalau ada instruksi kerja di luar Job Desc, .... well.... sori-sori aja... ga akan dia kerjakan. Kalau pun dikerjakan, tidak sepenuh hati.

Sebenarnya bukan hanya rekan saya ini saja. Dari cerita yang saya dengar, banyak orang yang seperti itu. Kebanyakan dari mereka adalah dari kalangan anak-anak muda, mulai dari yang "fresh graduade" hingga yang baru mengecap pengalaman kerja sekitar 5 - 6 tahun. Mereka beranggapan bahwa bekerja "sesuai Job Desc" adalah sebuah wujud profesionalisme. Mereka enggan melakukan hal lain di luar job desc, karena itu bukan bentuk profesionalisme dan tidak mendidik orang lain untuk bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri.

Pada konteks ini, saya setuju banget....!!!!

Tapi.... saya justru punya pemikiran lain soal melakukan pekerjaan di luar job desc. Mari saya jelaskan latar belakang karir saya.

Tahun 1997, saya bekerja di sebuah perusahaan garment di Bandung. Gaji saya saat itu adalah Rp 400.000 perbulan (saat itu, standar gaji lulusan S1 yang belum berpengalaman Rp 1.500.000). Waktu itu, jabatan saya adalah Follow Up Staff, di mana job-desc saya adalah menangani order mulai diterima hingga barang terkirim. Itu saja. Sangat sederhana.

Namun dasar saya orangnya suka proses, selama di perusahaan itu, saya belajar untuk tahu banyak hal. Meski bekerja di pabrik garment (yang notabene hanya khusus memproduksi pakaian), setiap kali ada kesempatan berkunjung ke pabrik supplier, saya luangkan waktu untuk belajar. Alhasil, saya jadi tahu banyak soal cara pembuatan tekstil, jenis bahan tekstil, proses pengerjaan sablon dan bordir, serta lain-lain. Tidak hanya itu, di dalam perusahaan pun saya belajar soal QC Inspection, pengerjaan pola, jenis-jenis mesin, teknik pengobrasan, dokumen impor dan ekspor, perpajakan, Undang-Undang Ketenagakerjaan, serta yang lain-lain. Hingga pada akhirnya (bukan sombong ni...), saya menyadari kalau saya adalah satu-satunya Staf Follow Up yang pada waktu itu mengetahui dan "sedikit" menguasai proses tekstil dan garment dari hulu hingga hilir.

Atasan saya sepertinya melihat potensi saya, lalu mulai memberikan banyak tugas yang sudah di luar Job Desc. Saya diserahi tugas menangani ISO (yang harusnya tanggung jawab Departemen Sistem), mengurusi jaringan komputer (yang harusnya tanggung jawab Departemen IT), mengurusi Costing (yang harusnya tanggung jawab Departemen Marketing), mengurusi Development Progress (yang harusnya tanggung jawab Departemen Research & Development), pengaturan dan perencanaan produksi (yang merupakan pekerjaan PPIC), serta Pembelian (yang harusnya tanggung jawab Departemen Purchasing).

Pada saat itu, saya bisa saja menolak tugas dan tanggung jawab itu. Tapi saya tidak pernah mengeluh dan tetap mengerjakan semuanya. Memang pada akhirnya sangat menyita waktu, hingga sering lembur setiap hari, tapi saya jalankan semuanya selama lebih dari 10 tahun karir saya di perusahaan tersebut.

Banyak orang mencibir "kebodohan" saya ini. Satu kalimat dari mereka yang paling saya ingat sampai hari ini, "Kamu tuh kayak Manager yang gajinya 5 juta ke atas saja, mau-maunya dibodoh-bodohin perusahaan buat ngerjain kerjaan yang bukan tanggung jawab kamu." Apa benar demikian?

Tahun 2001, saya mendapat kesempatan bersama para Manager melakukan studi banding selama 10 hari di China. Kami mengunjungi pabrik tekstil dan garment di Ning Bo, Hangzhou, Guangzhou, Shanghai, dan Hong Kong guna mempelajari teknologi mereka. Saya adalah satu-satunya karyawan dengan Level Staf yang diikutsertakan dalam kunjungan tersebut. Kalau sudah begini, apakah menurut Anda saya telah melakukan hal "bodoh"?

Tahun 2008, saya pindah dari perusahaan tersebut (setelah merasa cukup jenuh dan mencari hal baru), kemudian bekerja ke perusahaan eksportir buah dan sayur-mayur terbesar di Bandung. Di sana, jabatan saya adalah Purchasing Staf, dan Anda tentu tahu apa job-desc seorang purchasing. Namun pada pelaksanaannya, karena staf di sana sangat terbatas, saya dituntut untuk bisa multi-tasking. Tidak ada orang yang mensupervisi pekerjaan saya, sehingga saya belajar dan mencari tahu sendiri segala sesuatunya. Saya belajar mengenal jenis buah dan sayur mayur, mulai dari pemilihan bibit, proses penanaman, hingga panen. Saya belajar aturan Pemerintah soal ekspor buah dan sayuran. Bahkan saya terjun langsung ke bagian produksi, mencuci buah dan sayuran, pre-cooling, packaging, hingga stuffing ke container. Semuanya saya lakukan sendiri. Tujuannya agar mendapatkan "feeling" dari pekerjaan saya.

Dua bulan setelah itu, saya dipercaya mengurusi pameran-pameran yang disponsori Departemen Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Saya pun mendapat banyak kesempatan untuk mengikuti seminar, pelatihan, dan berbagai even yang diselenggarakan oleh ketiga departemen pemerintahan tersebut. Bahkan saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Bengkulu, Pontianak, dan seputaran Jawa Tengah, guna melihat dari dekat sentra-sentra pertanian yang ada di sana.

Puncaknya, tahun 2010, saya dipercaya untuk menjadi salah satu delegasi dan wakil Indonesia dalam mempromosikan produk buah dan sayuran Indonesia di Shang Hai Expo 2010 yang berlangsung dari Mei - Oktober 2010.


Dari cerita panjang-lebar ini, Anda bisa lihat bahwa sepanjang karir bekerja, saya memang adalah "orang bodoh" yang banyak melakukan pekerjaan yang bukan job-desc saya. Tapi lihatlah hasil dari "kebodohan" itu. Banyak peluang dan kesempatan yang justru saya peroleh dan dapatkan. Itu belum termasuk banyaknya tawaran-tawaran menggiurkan dari perusahaan-perusahaan pesaing yang berusaha membajak saya untuk bergabung dengan mereka.

Saya tidak munafik. Dalam bekerja, yang saya kejar memang uang. Tetapi ada satu hal lain yang saya kejar dalam bekerja : Kualitas Pribadi. Saya selalu berusaha untuk menjadi pribadi dengan kualitas diri yang lebih baik. Karena dengan kemampuan yang banyak, pengetahuan yang luas, dan karakter yang baik, saya tidak perlu kuatir untuk tidak mendapatkan pekerjaan atau kehilangan

Dalam situasi perekonomian yang semakin suliy, banyak perusahaan yang berusaha mengencangkan pinggang. Perasaan ketar-ketir pasti muncul kalau perusahaan sudah berniat melakukan pengurangan karyawan. Namun hal itu tidak akan terjadi, jika kita menjadi Karyawan yang bisa segalanya dan menjadi "key person" di perusahaan tersebut. Kita punya "selling point" yang sangat tinggi yang pasti dibutuhkan mereka, dan perusahaan-perusahaan pesaing.

Apakah Anda ingin jadi "The Expendable" (yang setiap saat bisa dieliminir) atau jadi "The Valuable" (yang akan dipertahankan karena punya banyak kemampuan)? Itu terserah Anda .....

Selama Anda memilih untuk bekerja sesuai Job-Desc atau sejumlah gaji yang diterima, Anda akan selamanya di posisi "The Expendable".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar