Adsense

Kamis, 03 April 2014

Worst Case Scenario (Part 1)

Setiap kali membuat perencanaan kerja - dan mempresentasikannya kepada Management - saya sering menerima kritikan karena saya selalu merencanakan dengan menggunakan "skenario terburuk" (Worst Case Scenario). Pernah satu kali atasan saya menegur saya. "Kenapa kamu selalu merencanakan hasil terburuk? Kenapa sih tidak bisa bersikap positif dan optimis dengan memaparkan hasil-hasil yang optimis? Kenapa tidak bisa punya keyakinan kalau apa yang kita rencanakan bisa sesuai dengan keinginan kita?"

Well.... saya menanggapi teguran itu dengan sebuah komentar, "Maaf, Pak. Saya seorang Optimis yang Realistis."


MAKSUDNYA? 
Pernahkah Anda merenungkan bahwa saat akan berpergian dengan motor, Anda selalu membawa dan menyimpan perkakas seperti obeng, tang, dan busi motor di dalam motor tersebut. Anda pun juga pasti belakangan ini selalu membawa jas hujan di motor. Mengapa? Karena dengan pikiran "sederhana" saya, membawa alat-alat semacam itu di motor adalah tindakan yang sangat bodoh sekali. Apalagi motor baru diservis dan cuaca saat ini sedang sangat cerah. Berarti sangat "mustahil" motor Anda bermasalah, apalagi hujan. Meski demikian, Anda tetap saja membawa perkakas dan jas hujan di motor.

Dan jika saya tanya, "Mengapa Anda begitu 'bodoh' membawa perkakas dan jas hujan di motor?"

Pasti jawaban Anda, "Ya... buat jaga-jaga... Mana tahu dadakan mogok di jalan dan hujan..."

Nah, itulah jawaban yang "optimis tapi realistis".

Kita memang optimis kalau cuaca baik dan tidak akan hujan. Karena itu, kita optimis memilih mengendarai motor untuk berpergian. Tapi kita pun realistis dan menyadari bahwa banyak faktor eksternal yang tidak bisa kita hindari selama mengendarai motor tersebut. Bisa saja - meski sudah diservis sekalipun - motor kita disabot orang. Atau businya sudah waktunya diganti, tapi lupa diganti saat diservis. Bisa juga tiba-tiba cuara berubah tidak bersahabat, yang mana tadinya cerah tiba-tiba hujan.

Hal yang sama terjadi pula di tempat kerja.

Kita boleh saja berencana cukup tinggi dalam meraih omset, target penjualan naik 200% bulan ini, dan lain-lain. Tetapi harus kita ingat fakta bahwa :
1. Kita BUKAN Tuhan yang Maha Pengatur dan Maha Tahu kejadian di masa depan.
2. Kita TIDAK BISA mengatur orang-orang di sekitar kita untuk mendukung pencapaian target penjualan (kalau bisa, buat apa ada Staf Marketing dan Operasional Lapangan?)
3. Kita TIDAK BISA mengendalikan faktor eksternal, seperti cuaca, gejolak perekonomian, aksi mogok buruh, dan lain-lain.

Itulah alasan mengapa dalam berencana, saya selalu menampilkan fakta-fakta terburuk dalam pencapaian tujuan saya. Sekali lagi, bukan karena saya pesimis atau tidak percaya diri. Namun ada faktor-faktor eksternal yang tidak bisa saya kendalikan, sehingga saya merasa perlu untuk memikirkan kondisi terburuk yang bakal terjadi dari rencana yang saya buat.

Dalam dunia bisnis, kita sering didorong (bahkan ditekan) untuk membuat rencana yang ideal, yang "wah" dengan angka-angka fantastis, disertai tabel-tabel data yang dasyat, seolah-olah itu adalah target kerja yang pasti akan dapat kita capai. Mungkin tujuan perencanaan itu untuk "menyenangkan hati" Management, mungkin juga tujuan pembuatnya hanya untuk "show-off" kemampuannya membuat bagan Power Point saja.

Merencanakan sesuatu yang "indah-indah" memang sepertinya menyenangkan. Tetapi jika yang kita rencanakan hanya enak dilihat (dan dipaparkan) tapi tidak bisa dilakukan, apa gunanya capek-capek membuat perencanaan? Bukankah itu bentuk ketidakjujuran pada diri sendiri, dan orang lain?

Saya lebih memilih untuk jujur pada diri sendiri dan membuat rencana apa adanya, dengan data dan fakta "terburuk" yang akan terjadi jika rencana saya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bukan menakuti Management, tetapi saya berusaha untuk jujur pada diri sendiri bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang bisa mengendalikan semua faktor eksternal yang mempengaruhi rencana mereka. Termasuk saya. Karena itu, potensi kegagalan pasti ada. Tetapi sebesar apa kegagalan itu bakal terjadi, inilah yang saya selalu paparkan agar mereka bersiap dan sudah mulai berhitung-hitung sebelum rencana itu dijalankan.

Jika rencana itu gagal, mereka sudah tahu dan siap dengan Plan B. Tetapi jika kegagalan tidak terjadi, bahkan sukses luar biasa, itu nilai plus buat saya. Management melihat perjuangan saya dan menyadari ada "sesuatu" yang saya lakukan untuk menghindari kegagalan itu terjadi.

Apabila rencana yang kita buat tanpa disertai "worse case scenario". Management tidak akan pernah tahu apa dampak terburuk jika rencana itu gagal. Sehingga jika benar-benar gagal, mereka tidak siap, dan kita yang dinilai tidak kompeten (meski kegagalan itu bukan murni salah kita, tapi faktor eksternal yang tidak bisa kita kendalikan. But... somebody must take pay the price and take full responsibility, right?).

Dan jika sukses, maka Management hanya berkomentar "memang sudah seharusnya". Artinya, ada atau tidaknya kita, rencana (sepertinya) dipastikan pasti berhasil. Jika sudah begitu, terus bagaimana dengan peran kita yang telah meng-gol-kan rencana tersebut? Tidak ada, bahkan tidak keliatan, karena semua penghargaan dan pujian akan didapat oleh Atasan kita (meskipun kitalah yang awalnya mempresentasikan angka-angka "bagus" tersebut).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar